LAHIRNYA
PERMODELAN BISNIS
Perusahaan-perusahaan di Indonesia haya berkembang paa kurun
waktu tertentu misalnya tahun 1960-an, 1970-an, 1980-an dan 1990-an dan hanya
beberapa perusahaan keluarga yang berhasil memasuki abad ke-21. Perusahaan
keluarga yang berhasil memasuki abad ke-21.
Perusahaan-peruahaan yag hilang
ditelan zaman disebabkan dua faktor yaitu ketidakmampuan generasi pewaris
meneruskan/mengembangkan pengelolaan perusahaan dan kelemahan pewaris membaca
situasi/keadaan zaman. Bahkan perusahaan-perusahaan yang diasionalisasikan dari
kepemilikan penjajah dan kemudian dikelola oleh orang melayu yakni bangsa
Indonesia, sudah banyak yang ditutup. Hal ini mengindikasikan bahwa pimpinan
orang melayu perlu mempelajari manajemen modern seperti diimplentasikan pada
perusahaan di AS, Eropa dan Jepang.
Perusahaan-perusaahaan kaliber dunia itu pada umumnya didirikan
oleh satu-dua orang. Nama dan produk atau jasa peruashaan umumnya menggunakan
nama pendiri. Perusahaan kaliber dunia itu terus berkembang meskipun manajemennya
tidak lagi dikelola oleh generasi pewaris melainkan ditangani oleh para
profesional. Yang menjadi pertanyaan, apa strategi perusahaan tersebut dapat
bertahan? Yang menjadi inti dari jawaban pertanyaan tersebut adalah perusahaan
tersebbut pada umumnya selalu mampu beradaptasi terhadap perkembangan bisnis,
kreatif menggunakan teknologi & inovasi dan selalu melakukan transformasi.
Dalam proses transformasi itu dibentuklah strategi atau model bisnis yang
sesuai/tepat mampu atau berani menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada.
Bagi para petinggi bisnis (pengusaha dan eksekuif puncak)
penataan kembali konsepsi kehidupan di masa transisi ini diterjemahkan sebagai
perubahan cara-cara berbisnis. Para pakar dan praktisi manajemen menyebut
perubahaan cara berbisnis itu sebagai new business model.
EMPAT DIMENSI BISNIS
Dalam jangka pendek, dunia bisnis akan menghadapi empat dimensi
yang saling mempengaruhi (The Boarderless World; 1990). Ini disebabkan dimensi
yang lama belum bisa dihilangkan sama sekali, sementara dimensi yang baru sudah
mulai menampakan pengaruhnya. Untuk dapat memantapkan pijakan, khususnya
mempertahankan eksistensi bisnis maka para petinggi bisnis harus bisa melihat
dan bertindak sesuai dengan dimensi masing-masing. Keempat dimensi itu adalah:
1. The Visible Dimension
Yaitu cara berbisnis lama, yang tidak mungkin ditinggalkan.
Seperti contoh para pengusaha roti, tetap membuat roti seperti sedia kala dan
peruahaan angkutan, tetap menjalankan truknya melewati jalan bebas hambatan
tol). Demikian pula keputusan-keputusan bisnis, masih menggunkan rumus-rumus
lama. Misalnya dalam hal akuisisi, masih tetap menggunakan rumus NPV (net
present value). Ada bisnis tertentu harus tetap menjalankan cara berbisnis di
era the visible dimension ini dan mungkin ada diantara bisnis yang masih harus
dikerjakan dengan cara dimensi ini, sebab adakalanya bisnis di era visible
dimension ini tumbuh akibat lahirnya dimensi baru.
2. The Boarderless Dimension
Dimensi ini lahir setelah dicapainya kesepakatan pembentukan
World Trade Organization (WTO), cara berbisnis di era ini adalah ditandai
dengan makinlemahnya peran pemerintah atau negara. Hubungan bisnis lebih di
dominasi oleh konsumen dan investor keuangan yang tidak mempedulikan sama
sekali stabilitas ekonomi masing-masing negara, sedapat mungkin menghindari
pajak dan yakin akan tersedianya pekerjaan (karena mereka bisa mendapatkan
pekerjaan dan bekerja di mana saja). Begitu juga dengan pembentukan dana di
masa yang akan datang (pensiun), individu pekerja dapat membeli sahan atau
surat berharga lainnya di berbagai bursa di dunia. Hal ini diyakini dapat
memberikan perlindungan yang leboh aman dari yang diberikan manajemen
perusahaan tempatnya bekerja atau pemerintah di negaranya sendiri.
3. The Cyber Dimension
Kehadiran teknologi komunikasi dan informasi membuat korporasi
dan konsumen dapat saling berhubungan. Untuk konsultasi misalnya dengan dokter,
pasien tidak perlu mendatangi dokter, cukup melalui telepon seluler, bahkan
sudah banyak media yang mengelola konsumen model ini, seperti dengan memosting
program-program interaktif sperti belanja, konsultasi fisikologis dan lain
sebagainya.
Kesimpulannya dimanapun dan kapanpun, peralatan komunikasi
elektronik siap menemani dan melayani dengan berbagai informasinya.
4. The Dimension of High Multiples
Dimensi ini merujuk pada adanya kecenderungan pelipatgandaan
harga perusahaan. Cara ini menunjukan adanya kredibilitas dan prospek yan
cerah. Dengan melipatgandakan PER (price earning ratio) perusahaan baru yang kecil
mampu mengakuisisi perusahaan yang sudah mapan dan terkenal seperti yang
dilakukan American On-Line (AOL) terhadap peruahaan telepon di AS. Hal inilah
yang mencadi keniscayaan terpenting pertama yang akan memaksa lahinya new
business model.
MODEL BISNIS BARU
Memang belum ada definisi secara remsi dari istilah ini, tatapi
menurut para ilmuwan manajer dan statement para praktisi bisnis, model bisnis
baru ini menjadi kebutuhan yang perlu di pertimbangkan secara serius jika ingin
mempertahankan maupun meningkatkan kapabilitas bisnis di lingkungan baru.
Ada pepatah yang bisa menjadi strategi untuk memenangkan bisnis
yaitu “menang tanpa perang” yang artinya keunggulan bisa diperoleh tanpa harus
membuka front pertempuran, sehingga perusahaan kompetitor/pesaing kalah tanpa
harus menanggung malu, kerugian atau bangkrut, bahkan sebaliknya bisa menjadi mitra
sekutu bisnis. Seperti halnya yang dilakukan perusahaan Toyota, Komatsu, Cisco
System dan BMW mengungguli pesaingnya, tanpa harus bersaing secara terbuka, misalnya
dengan perang harga, perang iklan, perang market share dll. Kuncinya mereka
“melawan arus” besar yang sedang melanda dunia ekonomi dan bisnis.
Ada beberapa keunggulan bersaing yang dijadikan dasar
diantarannya dalah Skala ekonomis, skop ekonomis, intergarsi vertikal dan
kompetensi. Dikatakn bahwa perusahaan akan unggul dalam bersaing jika mencapai
skala ekonomis. Demikian juga sepanjang dekade 1980 hingga pertengahan 1990,
integrasi vertikal menjadi jurus ampuh untuk mengalahkan pesaing. Terbukti munculnya
kecenderungan untuk menjadikan sebuah perusahaan menjadi grup konglomerat yang
menguasai bidang bisnis aru hulu hingga hilir dan beragam produk. Namun dari
semua itu dapat dikalahkan dengan model bisnis baru yang ditemukan oleh Toyota,
Komatsu, Cisco dan BMW.
1. Diseconomies of Scale
Ketika skala ekonomi menjadi sumber keunggulan bersaing utama,
dengan skala ekonomi dapat menikmati biaya produksi yang lebih rendah dari para
pesaingnya. Rahasia dari model bisnis skala ekonomi terletak pada biaya tetap
produksi. Dengan demikian perusahaan besar (yang mampu mencapai skala ekonomi)
dapat keluar sebagai juara bersaing. Sebab organisasi besar tersebut dapat
mengamortisasi biaya tetap dengan memperbesar volume produksi, yang tidak
mungkin dilakukan oleh perusahaan kecil.
Namun Toyota telah mengajari manajemen bahwa biaya tetap
bukanlah sesuatu yang alami, melainkan dapat direkayasa. Artinya biaya tetap
yang tinggi tidak selalu harus terjadi, sehinggga hanya perusahaan besar yang
mampu menanggungnya. Dengan perbaikan teknologi dan proses produksi, biaya
tetap dapat diturunkan. Sehingga perusahaan tidak mencapai skala ekonomi oun
sanggup menanggungnya. Seperti Toyota, dengan menurunkan persediaan barang
dalam proses, men-set-up waktu bekerjanya mesin-mesin, menyatukan overhead cost
dalam persediaan dan mengumpulkan proses pabrikasi. Toyota dapat mendesain
model-model baru bagi mobilnya. Apa yang dilakukan oleh Toyota dikenal sebagai
model bisnis baru yang disebut diseconomies od scale.
2. Diseconomies of scope
Economic of scope menjadi strategi kemenangan bersaing di era
1970an. Poduksi perlengkapan konstruski bangunan, Carterpillar, telah merasakan
menangbersaing dengan menggunakan keunggulan bersaing dari Economic of scope
ini. Namun perusahaan Komatsu mematahkan strategi Economic of scope dengan
diseconomic of scope. Perusahaan Komatsu produsen perlengkapan konstruksi
bangunan, yang diposisikan sebagai pengekor Carterpillar ini mengadopsi gaya
manajemen Toyota, terutama dalam penurunan biaya tetap berupa desain dan
perakitan. Komatsu memproduksi dengan beragam produk dengan struktur pabrik
yang ada, tanpa harus banyak meningkatkan dan pergantian atas jadwal,
persediaan, biaya pengiriman dan biaya kontrol kualitas. Misalanya komatsu
tidak perlu memperbesar stok dan memperbanyak item produknya di setiap dealer.
Sebab pesanan bisa dipenuhi kapan saja lewat layanan kargo satu malam yang
disediakan peruashaan kargo. Model bisnis diseconomic of scope lahir sebagai
keunggulan bersaing Komatsu.
3. Outsorching
Memasuki dekade 1980 (untuk Indonesia 1990an). Dunia bisnis
dikejutkan dengan munculknya kecenderungan perusahaan membentuk grup bisnis
yang disebut konglomerat. Grup ini memasuki bisnis, mulai dari industri hulu
hingga hilir dan merambah ke beragam industri pula. Dalam ilmu manajemen,
khusunya segmen model bisnis yaitu integrasi vertikal yang memang model bisnis
yang cukup ampuh dan banyk dianjurkan. Strategi ini cukup ampuh dan banyak
dianjurkan sumber keunggulan. Sumber dari keunggulan integrasi vertikal ini adalah
efisiensi.
Namun Sisco System memutarbalikan strategi ini intergrasi
vertikal ini. Mereka melakukan revolusi dalam melahirkan model bisnis sebagai
sumber keunggulan bersaing baru. Produsen perangkat keras ini (Cisco)
mempopulerkan “pemisahan” pekerjaan yang disebut dengan Outsourcing. Model
bisnis ini merupakan lawan dari model bisnis integrasi vertikal. Cisco banyak
memberikanpekerjaan kepada perusahaan lain, mulaidari pemabrikan hingga
pengembangan produk. Dengan model Outsourcing ini Cisco dapat unggul ke pentas
pasar.
4. Menentang Kompetensi
Kompetensi merupakan salah satu mainstream dalam model bisnis
yang telah terbukti keampuhannya dalam menjadikan sebuah perusahaan mengungguli
lawan-lawannya. Kompetensi ini merupakan keahlian/keterampilantinggi yang
terbentuk karena lamanya perusahaan menangani suatu produk dan bisa juga
disebabkan pintarnya para ahli yang bekerja yang dimiliki oleh suatu
perusahaan. Seperti yang dilakukan oleh BMW. Kejeniusan para insinyur BMW,
selalu menyebabkan BMW unggul dalam menciptakan desain mobil yang unik dan tak
dapat ditiru oleh pesaingnya.
Berkembangnya teknologi komputer telah menurunkan keampuhan para
pakar, terutama dalam rancang bangun. Sedangkan BMW tidak mempertahankan
keunggulan bersaing yang bersumber dari kompetensi para insinyurnya dalam
mendesain keunikan dan kemanan mobilnya. BMW memanfaatkan komputer sebagai
simulasi dalam menghasilkan desain maupun proses produksinya. Ini membuat BMW
tidak lagi membutuhkan kolaborasi intensif para insinyur pintar dalam
memproduksi mobilnya. Sehingga dapat menurunkan biaya tetap tanpa harus
mengurangi kualitas produk
Dari pengalaman empiris perusahaan-perusahaan inilah dapat
disimpulkan bahwa model bisnis baru pada hakekatnya merupakan upaya para
petinggi bisnis untuk menemukan cara-cara baru berbisnis yang sesuai dengan
perkembangan lingkungan bisnis dan organisasi intern perusahaan untuk dijadikan
sumber keunggulan bersaing.
Sawidji Widioatmojo; "New Business Model"
0 comments:
Posting Komentar