TEST DAN
WAWANCARA / INTERVIEW
Dua cara yang paling sering dipergunakan di dalam prosedur
penarikan tenaga kerja adalah test psikologi dan wawancara.
Kedua metode
tersebut sudah merupakan suatu bidang spesialisasi tersendiri dan mempunyai
penggunaan yang jauh berbeda pula. Untuk merancang, mengatur dan menilai test
psikologi dengan tepat diperlukan latar belakang pengetahuan tentang psikologi
industri.
I. TEST PSIKOLOGI
Test ini merupakan alat yang dirancang untuk mengukur berbagai
faktor psikologis tertentu. Tujuan proses pengukuran ini terutama bagi
perusahaan, adalah untuk memperkirakan apa yang akan dilakukan seseorang di masa
yang akan datang. Pada hakekatnya kita mencoba mengukur berbagai tingkah laku
manusia yang kita rasakan akan dapat kita pergunakan untuk memperkirakan
tingkah lakunya di masa yang akan datang. Jadi faktor-faktor yang diukur adlah
tipe psikologis seperti logika berpikir, kemampuan mempelajari, temperamen dan
berbagai kecakapan tertentu. Biasanya juga menyangkut pengukuran kemampuan
fisik, sperti kecakapan / kecepatan menulis atau koordinasi gerak tangan dan
pengelihatan.
1. Beberapa Prinsip Dasar pengujian
Prinsip pengujian yang pertam aadalah bahwa pengujian tersebut
hendaknya dirancang sesuai dengan program analisa jabatan yang baik. Karena
tujuan diadakannya testing adalah untuk memperkirakan keberhasilan pelamar
dalam memegang jabatannya dimasa yang akan datang, maka jelas perhatian kita
harus dimuali dari jabatan tersebut. Persyaratan apa yang diperlukan agar
sesorang nantinya akan berhasil dlam memegang jabatan tertentu? Untuk itu kita
harus kembali pada spesifikasi jabatan. Jadi kita harus mencari berbagai faktor
atau persyaratan yang diperlukan jabatan tersebut dan kemudian baru mencoba
menilai atau mengukur faktor-faktor tersebut dengan menggunakan pengujian
(testing). Jika kita menginginkan persyaratan tertentu tentang kemampuan
berfikir )logika), maka kita bisa menggunakan pengujian kecerdasan (intelegence
test) untuk mengukur tingkat kecerdasan seseorang. Sedang jika kita
menginginkan atau mensyaratkan tentang kemampuan memimpin dan memotivasi, maka
test kecerdasan tersebut tidak bisa dipergunakan. Kita harus merancang
bagaimana atau test apa yang relevan dengan kebutuhan akan persyaratan
tersebut. Jadi pengembangan program pengujian, haruslah mendasarkan diri atas
analisa jabatan yang akan memberikan jenis dan tingkatan persyaratan tertentu yang
harus dipenuhi untuk memegang suatu jabatan.
Prinsip pengujian yang kedua adalah bahwa pengujian tersebut
harus dirancang agar bisa menjadi alat yang dipercaya (reliable). Dapat tidak
dipercaya menunjukan tingkat konsistensi yang diperoleh. Jika suatu pengujian
mempunyai tingkat reliability yang tinggi, maka seseorang yang di uji pada
waktu kedua atau ketiga dibawah kondisi yang sama akan menghasilkanamgka yang
relatif sama juga. Jika hasil yang diperoleh sangat berbeda, maka pengujian
kita diragukan kegunaannya. Apabila suatu pengujian yang sama diberikan kepada
orang yang sama pada kondisi yang hampir sama juga, sedangkan hasilnya ternyata
sangat berbeda, maka berarti apa yang kita ukur atau nilai itu tidak jelas.
Jika angkanya konsisten, maka kita percaya bahwa ada sesuatu yang kita ukur.
Apakah pengukuran tersebut bisa menghasilkan perkiraan keberhasilan pelamar di
masa yang akan datang dengan tepat atau tidak, itu adalah persoalan lain. hal
tersebut menyangkut masalah ketepatan.
Test yang dipilih untuk dipergunakan haruslah memiliki nsur
ketepatan. Apakah pengujian tersebut sesuai dengan keinginan kita? Suatu test
mungkin berlaku (valid) untuk suatu maksud tertentu, tetapi tidak untuk maksud
yang lain. apabila kita menginginkan meemgang suatu jabatan maka kita memilih
test kecerdasan yang bisa dipercaya. Dari berbagai penelitian telah terbukti
bahwa test yanf dipilih bisa dipercaya untuk menguji kecerdasan. Meskipun harus
pula diingat bahw keberhasilan seseorang nantinya tidaklah hanya tergantung
pada unsur kecerdasan atau unsur lainnya tetapi banyak faktor yang
mempengaruhinya. Karena itulah kita mengenal adanya berbagai jenis test yang
dipergunakan selain menggunakan wawancara, pengisian formulir dan lain-lainnya.
Dengan demikian validitas keseluruhan proses pemilihan bisa lebihbaik dari pada
seandainya hanya menggunakan pengujian saja. Disamping itu perlu pula
diperhatikan bahwa untuk ketepatan dan keberlakuan (validitas) tidak hanya
berhubungan dengan suatu tujuan tertentu, tetapi juga untuk situasi tertentu.
Artinya untuk suatu perusahaan, mungkin suatu pengujian bisa “valid”, tetapi
untuk perushaan lain belum tentu tipe tersebut memenuhi validitas yang
diinginkan.
Berbagai prinsip untuk program pengujian karyawan lainnya antara
lain adalah:
1. Test hanyalah merupakan alat tambahan untuk melakukanseleksi,
dan bukan satu-
satunya alat untuk melakukan seleksi.
2. Administrasi test haruslah diawasi dan distandarisasi agar
hasil test tersebut bisa
diperbandingkan.
3. Sejauh mungkin test haruslah memiliki validitas statistik.
2. Beberapa Macam Jenis Test
Berbagai cara penggolongan test psikologis dimaksudkan untuk
memperoleh atau mengetahui sifat-sifat tertentu. Test bisa dijalankan dengan
menggunakan alat tulis atau dengan menunjukan suatu kecakapan tertentu. Jenis-jenis
test psikologis tersebut diantaranya:
A. Intellegence Test (Test Kecerdasan)
Test kecerdasan mungkin merupakan jenis test yang paling luas
penggunaannya. Test ini dikembangkan oleh para ahli jiwa. Dimaksudkan dengan
test kecerdasan adalah test yang dilakukan untuk mengetahui kemampuan mental
seseorang di dalam hal berpikir secara menyeluruh dan logis. Dari suatu
penelitian diperoleh hasil bahwa validitas jenis test ini mempunyai
kecenderungan yang tinggi untuk karyawan-karyawan yang ahli.
B. Aptitude Test (test bakat)
Test bakat mencoba mengukur apakah seseorang mempunyai kemampuan
yang tersembunyi untuk mempelajari suatu pekerjaan apabila kepadanya diberikan
latihan cukup. Dengan demikian maka test bakat sebaiknya digunakan untuk
pelamar yang belum mempunyai pengalaman. Test ini biasanya dipergunakan untuk
pekerjaan seperti ahli mesin, ahli bahasa, kerani, ahli musik dan lain-lain.
juga pekerjaan yang membutukan koordinasi tangan dan mata.
C. Achievement Test (test prestasi)
Jika bakat adalah kemampuan dimasa yang akan datang maka
“achievement” adalah kemampuan pada saat ini. Apabila seseorang menyatakan
mengetahui atau memahami sesuatu hal, maka test prestasi menguji seberapa jauh
pengetahuannya tersebut. Jadi pada hakekatnya semua jenis test mengandung unsur
achievement ini. Termasuk test bakat maupun test kecerdasan. Hanya tujuan dan
penekanannya berbeda.
D. Interst Test (tes minat)
Semua orang menyadari bahwa seseorang yang mempunyai minat
terhadap suatu jabatan atau pekerjaan tertentu, akan mengerjakan dengan lebih
baik daripada yang tidak berminat. Biasanya pelamar ditanya apakah ia suka atau
tidak suka atau tidak ada perbedaan dalam kesukaan, terhadap sesuatu hal,
seperti penempatan, jenis hiburan dan lain sebagainya. Penempatan-penempatan
untuk jabatan seperti, akuntan, arsitek, dokter gigi, insinyur, manajer
personalia, manajer produksi dan guru banyak menggunakan tipe test seperti ini.
E. Personality Test (test kepribadian)
Arti pentingnya kepribadian bagi keberhasilan suatu jabatan atau
pekerjaan, tidaklah disangsikan lagi. Banyak orang mempunyai kecerdasan, bakat
dan pengalaman terhadap suatu pekerjaan, gagal di dalam melaksanakannya karena
tidak mampu bekerjasama dan memimpin orang lain. untuk mengetahui kepribadian
inilah dilakukan test ini. Salah satu cara yang populer adalah dengan
menggunakan serangkaian gambar, dan pelamar ditanya/diminta untuk membuat
cerita yang dramastis bagi masing-masing gambar tersebut.
II. WAWANCARA / INTERVIEW
Wawancara/interview mungkin merupakan satu cara seleksi yang
paling sering dipergunakan, apabila dalam seleksi pelamar hanya digunakan satu
cara. Sayangnya di dalam melakukan wawancara serungkali dijumpai
ketidaksepakatan terhadap seseorang yang di wawancarai, apabila wawancara
tersebut dilakukan oleh lebih dari satu orang pewawancara. Dengan demikian
nampaklah unsur subyektivitasnya masih cukup besar. Itulah sebabnya wawancara
perlu dilengkapi dengan cara seleksi yang lain. pada umumnya ketepatan
seseorang untuk memperkirakan ketidakjujuran (atau hal-hal negatif) seorang
pelamar lebih tinggi daripada perkiraan untuk hal-hal yang baik. Dengan kata
lain, di dalam wawancara lebih mudah memperoleh informasi negatid, yang mungkin
luput diperoleh dari cara-cara seleksi lainnya
1. Jenis-jenis Wawancara
Secara umum, wawancara dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
A. Wawancara terpimpin
Pada jenis wawancara ini disiapkan daftar pertanyaan dengan
menggunakan dasar speseifikasi jabatan. Daftar ini bisa membantu pewawancara
yanf belum terlatih, tetapi makin lama ada kecenderungan mulai ditinggalkan,
dengan makin berkembangnya keahlian pewawancara.
B. Wawancara tidak terpimpin
Untuk jenis wawancara ini banyak dipergunakan tidak saja dalam
seleksi karyawan, tetapi juga dalam maslaah konsultasi, penyelesaian
keluhan-keluhan, dan lain-lain. jenis wawancara ini sebagian besar tidak
terencana dan yang aktif berbicara adalah pihak yang diwawancarai. Nampaknya
cara ini lebihmudah bagi pewawancara, tetapi sebetulnya memerlukan keahlian
tersendiri untuk menjaga agar wawancara tidak menyimpang dari tujuan yang ingin
dicapai. Saran dan usaha “menenangkan” perlu dihindari dan “mendengarkan” adalah
lebih utama. Seringkali dijumpai bahwa pelepasan emosi dengan membicarakan apa
yang terkandung di dalam hati yang diwawancarai sudah merupakan suatu manfaat
yang sangat besar
2. Beberapa Prinsip Wawancara
Suatu cara penggolongan yang mungkin bermanfaat dalam menentukan
prinsip-prinsip yang perlu dianut adalah dengan mengikuti urut-urutan fungsi
yang terjadi selama wawancara, yaitu:
A. Persiapan
Untuk wawancara jelas merupakan suatu kegiatan yang tidak bisa
ditinggalkan. Untuk itu perlu diperhatikan beberapa prinsip seperti:
1) Menentukan tujuan wawancara tersebut
Penentuan tujuan ini perlu untuk mencegah agar jangan sampai
dalammelakukan wawancara ditanyakan hal-hal yang sudahtercantum dalam formulir
lamaran misalnya. Demikian juga misalnya wawancara untuk menyelesaikan
persoalan perburuhan keluhan akan berbeda dengan wawancara untuk seleksi
karyawan. Secara singkat kita perlu menentukan lebih dulu apa uang kita
inginkan dari wawancara tersebut.
2) Menentukan metode
Menentukan metode yang akan dipergunakan untuk mencapai tujuan
tersebut. Secara umum prinsip ini menyangkut masalah penggunaan wawancara yang
terpimpin ataukah tidak. Hal ini juga menyangkut masalah apakah akan
menggunakan bentuk penilaian yang sudah distandardisir ataukah memilih penggunaan
penilaian yang tidak begitu sistematis, apakah akan menggunakan catatan ataukah
akan menggunakan daya ingat. Pencatatan yang sistematis akan meningkatkan
jumlah informasi yang bisa diperoleh dari wawancara tersebut. Pemilihan
penggunaan salah satu cara wawancara tersebut perlu pula mempertimbangkan
banyaknya wawancara yang akan dilakukan.
3) Informasi yang lengkap
Lengkapilah diri kita sebanyak mungkin dengan informasi yang
dapat kita peroleh dari wawancara tersebut. Disini kita perlu mempelajari “formulir
lamaran” yang sudah diisi oleh para pelamar dengan tujuan mengenal calon
karyawan.
B. Pengarahan
Tahap ini tidaklah bisa dipisahkan secara jelas dari proses
wawancara. Tapi disini kita akan memberikan penekanan yang berbeda. Pengarahan
wawancara memerlukan pesiapan mental, terutama oleh pewawancara di dalam
pelaksanaan wawancara. Bagaimana agar suasana tidak “kaku” atau dicekam oleh
ketegangan. Untuk menghindari hal semacam itu kita bisa melakukan jalan seperti
tidak langsung menanyakan soal pekerjaan. Tapi soal-soal lain seperti hobby
atau olah raga dan lain-lain. Selain mental persiapan fisik untuk wawancara
juga haruslah bisa menciptakan suasana yang nyaman dan bebas. Maksudnya adalah
jangan sampai kita menciptakan suasana yang sangat tidak nyaman, seperti tempat
terlalu ramai, bisa dilihat dan atau didengar oleh orang lain, banyak gangguan
dan lain sebagainya.
C. Menyelenggarakan Wawancara
Tahap ini merupakan proses pelaksanaan wawancara. Beberapa
prinsip yang perlu diperhatikan disini adalah:
1) Sikap Ramah
Pewawancara haruslah memiliko sikap ramah dan menunjukan
perhatian terhadap orang lain. pewawancara yang suka berbicara dengan minat
yang jujur dan penuh perhatian akan memudahkan wawancara tersebut menjadi
terbuka. Banyak keterangan yang bisa diperoleh dari wawancara tersebut. Prinsip
ini sering dikatakan merupakan falsafah dasar dalam melakukan wawancara.
2) Pertanyaan yang memberikan keberanian menjawab
Pertanyaan yang diajukan hendaknya memberikan keberanian untuk
menjawab dari yang diwawancarai. Jika misalnya karyawan yang diwawancarai
tersebut sedang konflik dengan mandornya, maka kita bisa menanyakan bukan
mengapa ia konflik dengan atasannya, tetapi misalnya menanyakan tentang tipe
mandor bagaimana yang diinginkan dan apa sebabnya. Pertanyaan-pertanyaan dengan
jawaban ya atau tidak sebaiknya tidak dipergunakan. Sebab hal ini akan
mematikan pembicaraan. Ingatlah bahwa tujuan kita adalah ingin mendapatkan
keterangan yang luas mengenai diri pelamar.
3) Mendengarkan dengan penuh perhatian
Mendengarkan apa yang dibicarakan oleh pelamar dan kemudian
berpikir ke depan akan sangat membantu dalam melakukan wawancara. Berpikir
kedepan bisa dipergunakan untuk memikirkan bagaimana seandainya kita sebagai
orang yang diwawancarai. Tetapi bukan berarti kita selalu setuju dengan apa
yang dikatakan oleh pelamar tersebut
D. Menutup Wawancara
Untuk menutup wawancara perlu diperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
1) Isyarat Pewawancara
Pewawancara haruslah mengisyaratkan bahwa suatu wawancara akan
segera diakhiri. Seringkali terjadi bahwa pelamar tidak merasa bahwa wawancara
sudah berakhir, sampai terpaksa pewawancara mengatakan/mepersilahkan untuk
keluar ruangan.
2) Informasi untuk waktu yang akan datang
Berikanlah kemungkinan apa yang akan dilakukan untuk waktu yang
akan datang. Maksudnya adalah agar pelamar mengetahui apakah yang akan
diberitahukan kepadanya. Pakah ia akan diterima ataukah ditolak. Untuk ini
perlu disebutkan secara jelas kapan keputusan itu akan diberikan, sehingga
pelamar tidak perlu menunggu dengan tidak ada kepastian. Kebanyakan untuk
penolakan pelamar tidak dilakukan dengan bertemu muka secara langsung, tetapi
cukup dengan surat. Untuk penerimaan pelamar bisa secara langsung bertemu muka,
tetapi untuk jumlah penerimaan yang besar, biasanya pula dilakukan dengan
surat.
3) Penilaian
Setelah wwancara selesai, pewawancara hendaklah melakukan
penilaian sementara pengetahuan/informasi yang diperoleh masih segar. Jika tidak
teredia catatan, perincian data ini harus segera direkam. Dalam melakukan
penilaian, pewawancara juga harus menilai dirinya sendiri lebih dulu.
Bagaimanapun keahlian wawancara tetap merupakan suatu seni, yang akan semakin
ahli berdasarkan pengalaman yang diperoleh. Juga harus diingat bahwa
pewawancara hendaknya memiliki pengetahuan yang minimal sama dengan pengetahuan
pelamar. Bagaimana kita akan menilai seseorang jika kita kalah luas pengetahuan
dengan orang yang akan dinilai.
Sumber:
Drs. Heidjrachman R & Drs. Suad H, M.B.A ; 1984
0 comments:
Posting Komentar