KONSEP DASAR MSDM SEKTOR PUBLIK

KONSEP DASAR MSDM SEKTOR PUBLIK



Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka dibidang pemerintah sekarang ini telah terjadi perubahan yang besar sekali. Salah satu perubahan itu ialah diwujudkannya tata kepemimpinan
yang demokratis dan baik. Upaya mewujudkan sistem pemerintahan yang demokratis, bersih, dan berwibawa selalu menjadi obsesi bagi rakyat dan pemerintahan di era modern ini. Berbagai peristiwa dramastis yangmembawa kondisi perekonomiankita terpuruk sehingga agak sulit untuk bangkit kembali. Merupakantonggak kesadaran bagi kita semua untuk ekmbali menata sistem pemerintahan yangbaik. Salah satu unsur penyelenggaraan pemerintahan yang perlu memperoleh perhatian dalam upaya reformasi itu ialan panataan aparatur pemerintah yang meliputi penataan kelembagaan birokrasi pemerintahan, sistem dan penataan sumberdaya pegawai (PNS/ASN).
Jika membaca dari sejarah Nabi Muhammad SAW yangberhasil melakukan perubahan terhadap masyarakat jahiliyah pada saat itu, dari yang tidak baik menjadibaik, dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang biadap benjadi beradab, maka kita akan dapatkan bahwa antara sisten yang dibangun dengan manusia yang akan menjalankan sistem tersebut secara bersamaan dilakukan perbaikan. Artinya tidak hanya terfokus pada perbaikan sistemnya saja lalumengabaikan manusiannya atau sebaliknya. Jadi untuk melakukan perubahan perbaikan, kedua sisi antara sistem dan manusia harus dilakukan secara bersamaan.
Demikian juga dengan persoalan sistem administrasi dan MSDM sektor publik saat ini. Sistem ada terkesan belum mampu mewujudkan konsisi yang lebih baik, bahkan dengan berbagai aturan yang ada sekarang pun ternyata masih terbatas melahirkan PNS/ASN yang belum berkualitas, profesional, dan memilikiokompetensi. Tak sedikit kegagalan pemerintah dan pemerintah daerah untuk melakukan reformasi kepegawaian dan reformasi birokrasi telah melahirkan para birokrat yang memiliki kerusakan etika, moral dan juga kesenjangan kemampuan untuk melakukan berbagai tugas dan tanggungjawabnya.
Kondisi tersebut sangat berbeda dengan sistem administrasi dan MSDM sektor bisnis dimana sistem adminstrasi dan MSDM sangat fleksibel dan mudah untuk menyesuaikan dengan berbagai perubahan dan dinamika yang terjadi, berbagai aturan tentang administrasi dan MSDM dapat dilakukan kapan saja sesuai dengan kebutuhan organisasi dan stakeholder. Artinya perubahan tersebut tidak banyak melibatkan pihak lain. Sementara pada administrasi dan MSDM sektor publik sangat kompleks, karena banyakpihak lain yang terlibat dalam penyusunan regulasi dan kebijakan bahkan unsur politik lebih dominan mewarnai kebijakannya.
Bedasarkan rapat pendapat antara komisi II DPR RI dengan Prof.Dr.Eko P, Prof.Dr.Prijono T, dan Syaufan RS (2010). Terungkap bahwa masalah mendasar dalam sistem kepegawaian indonesia adalah:

1. PNS/ASN di Indonesia berada dalam zona nyaman,
sehingga kurang memiliki tanggungjawab dan sensitivitas dalam penyelenggaraan pemerintaan. Kondisi demikian mendorong perilaku PNS/ASN untuk bekerja secara instan, malas-malasan, cenderung cari muka, dan mengutamakan pelayanan kepada atasan dari pada melayani masyarakat. Tidak ada semangat dalam menciptakan inovasi, kreasi dan invensi yang tumbuh dari dalam diri PNS/ASN. Demikian juga dengan disiplin, integritas, loyalitas, kapabilitas dan kompetensi dalam bekerja juga tida diperhatikan yang kemudian berujung pada rendahnya produktifitas kerja dan capaian sasaran kinerja yang telah ditetapkan sebelumnya.

2. Tidak ada kompetisi dalam sistem kepegawaian negara
Sehingga kinerja seorang PNS/ASN tidak pernah terukur dengan baik. Para pegawai lebih banyak mengedepankan materi, uang , kekuasaan dan jabatan saat bekerja, tanpaa danya upaya menunjukan prestasi atau kinerja yang baik. Pada masa reformasi, pilar birokrasi sangat rawan terhadap intervensi politik sehingga netralitas dan independensi PNS sebagai penyelenggara pemerintahan menjadi sangat terganggu dan berada pada posisi yang dilematis. Sehingga para pegawai beranggapan bahwa memiliki koneksi dengan kekuasaan sangat menguntungkan bagi jabatan, golongan, dan karirnya. Kondisi ini menunjukan bahwa kompetensi tidak menjadi hal yang penting.
Pada dasarnya menurut Tjiptoherjanto, PNS di negara manapun mempunyai tiga peran yang serupa yaitu:
1. Sebagai pelaksana peraturan perundangan yang telah ditetapkan pemerintah.
Untuk mengemban tugas ini netralitas PNS/ASN sangat diperlukan.
2. Melakukan fungsi manajemen pelayanan publik. Indikator yang digunakan untuk mengevaluasi peran ini adalah seberapa jauh masyarakat puas atas pelayanan yang diberikan PNS/ASN. Apabila tujuan utama otonomi daerah adalah mendekatkan pelayanan kepada masyarakat , sehingga desentralisasi dan otonomi terpusat pada pemerintah kabupaten dan pemerintahkota, maka PNS/ASN pada daerah tersebut mengerti benar keinginan dan harapan masyarakat setempat. 

3. PNS/ASN harus mampu mengelola pemerintahan.
Artinya pelayanan pada pemerintahan meupakan fungsi utama PNS/ASN setiap kebijakan yang diambil pemerintah harus dapat dimengerti dan dipahami oelh setiap PNS/ASN sehingga dapat dilaksanakan dan disosialisasikan sesuai dengan tujuan kebijaksanaan tersebut. Dalam hubungan ini maka manajemen dan administrasi PNS harus dilakukan secara terpusat, emskipun fungsi-fungsi pemerintahan lain telah diserahkan kepada pemerintah kota dan pemerintah kabupaten dalam rangka otonomi daerah yang diberlakukan saat ini.
Untuk mewujudkan ketiga peran tersebut diharapkan dalam manajemen sistem kepegawaian perlu selalu ada:
1. Stabilitas, yang menjamin kesejahteraan PNS/ASN tidak perlu kuatir akan masa depannya serta ketenangan dalam mengejar karir
2. Balas jasa yang sesuai untuk menjamin kesejahteraan PNS/ASN beserta keluarganya. Sehingga keinginan untuk melakukan korupsi menjadi berkurang atau dihapuskan sama sekali.
3. Promosi dan mutasi yang sistematis dan transparan, sehingga PNS/ASN dapat memperkirakan karirnya dimasa depan serta bisa mengukur kemampuan pribadi.

Otonomi daerah yang telah berlangsung selama ini tentunya memberikan implikasi tertentu pada sistem kepegawaian di Indonesia. Sebelum dilaksanakan otonomi sistem kepegawian terpusat. Dalam segala kebijakan kepegawaian ada pada pemerintah pusat, mulai dari urusan adiminstrasi kepegawian hingga urusan pengadaan, daerah hanya menerima jatah dari pemerintah pusat sesuai dengan permintaan dan ketersediaan pegawai yang ada di pusat. Dan pindahnya pegawai dari satu tempat ketempat lain sesuai dengan keputusan atasan. Ini berbeda dengan otonomi daerah yaitu pegawai sulit berpindah antar satu tempat dengan tempat lain. Kebijakan demikian tentu berimplikasi positif dan negatif bagi sistem kepegawian dan kinerja organisasi.
Sejak diberlakukannya otonomi daerah (desentralisasi) banyak terjadi perubahan dalam administrasi dan manajemen kepegawaian, dan perubahan ini membawa implikasi yang sangat luas bagi pelaksanaan tugas aparatur di daerah. Perubahan yang sangat mendasar adalah kewenangan yang diberikan pemerintah kepada kepala daerah (gubernur, bupati/walikota) yang sangat besar berkenaan dengan pengelolaan kepegawaian di daerah, mulai dari pengangkatan, promosi dalam jabatan, kenaikan pangkat, hingga kepada pemberhentian pegawai.
Kewenangan yang besar tersebut diharapkan membantukelancaran keberhasilan otonomi daerah. Namun kenyataannya menunjukan bahwa pelaksanaan otda ini banyak terjadi penyelewengan wewenang oleh kepala daerah, diantaranya adalah pengankatan tenaga honorer yang terkesan asal-asalan (tidak memiliki standar & kompetensi), pengangkatan CPNS dan promosi jabatan yang banyak terimplikasi pada praktek KKN dan pengankatan pejabat yang tidak memiliki kualifikasi dan kompetensi (Seringkali hanya atas dasar pada keterlibatan seseorang dalam tim sukses pemilihan kepala daerah), misalnya seorang guru sekolah dasar dengan basis pendidikan keguruan diangkat dan dipromosikan menjadi camat di suatu wilayah kecamatan, dengan pertimbangan yang bersangkutan masuk dalam tim sukses dan oleh karenanya harus diakomodir dalam jabatan publik. Meski pengangkatan camat merupakan kewenangan kepala daerah, namun tidak sesuai dengan kaidah kepatutan yang ada.
Manakala hal ini terus terjadi, maka akan menimbulkan kecemburuan seorang PNS/ASN yang berprofesi sebagai pamong praja denganlatar belakang pendidikan ilmu administrasi dan pemerintahaan seperti alumni IPDN, STIA, Ilmu Pemerintahaan dll, yang sebelumnya memang dipersiapkan untuk menjadi pejabat pamong praja (lurah atau camat).
Share:

0 comments:

Posting Komentar

PENGUNJUNG